Follow : Like : RSS : Mobile :

Ada Apa Dibalik Penetapan Rita sebagai Tersangka Gratifikasi ?

Foto | Istimewa | Detakjakarta.com

Penetapan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari sebagai tersangka dugaan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpotensi mempermalukan upaya kegiatan pemberantasan korupsi di Indonesia. Karena beberapa waktu lalu, Rita Widyasari digunakan KPK sebagai role model kepala pemerintahan yang bersih. Namun tiba-tiba ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi antirasuah.

Juru Bicara Rita Widyasari, Yoga Hartantoro mengatakan, KPK sebagai lembaga penegakan hukum tentu memiliki data intelijen sebelum menetapkan Rita Widyasari sebagai role model kepala daerah yang bersih.

"Mengapa KPK yang mempromosikan dan KPK pula yang menjatuhkan? Ada apa?", kata Yoga Hartantoro seraya bertanya dalam keterangan persnya, Senin (9/10/2017).

Menurut informasi yang dikutip dari berbagai media, salah satu penyebab Rita Widyasari dijadikan tersangka adalah perbedaan nilai harta yang melonjak 10 kali lipat, antara LHPKN-nya antara tahun 2011 dengan tahun 2015.

Disebutkan LHKPN Bupati Kukar tahun 2011 senilai Rp 25,8 miliar. Sedangkan di tahun 2015 harta yang dilaporkan sebesar Rp 236 miliar. Dari sini diduga dimulainya kecurigaan bahwa Rita Widyasari telah memperkaya diri sendiri melalui praktek gratifikasi.

"Tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, tentu sangat mudah muncul anggapan Rita melakukan gratifikasi. Namun kemudian muncul informasi bahwa peningkatan nilai harta Bupati Kutai Kartanegara karena valuasi baru dari lahan kelapa sawit dan pertambangan yang telah dimiliki Rita sejak lama. Valuasi baru lahan sawit lama dan pertambangan itu ini bahkan mencapai Rp 209,5 miliar. Artinya dari total harta yang dilaporkan oleh sang Bupati di tahun 2015, 88 persennya dipicu valuasi baru dari lahan sawit dan tambang lama", paparnya.

Menurut Yoga Hartantoro, sangat mengherankan bila argumen peningkatan harta dianggap sebagai indikasi terjadinya gratifikasi. Sebab harta tidak bergerak seperti lahan sawit dan pertambangan adalah tipe harta yang bisa mengalami peningkatan nilai walaupun didiamkan.

"Contohnya seperti rumah yang dimiliki oleh para wajib pajak di Indonesia. Saat dibeli mungkin harganya Rp 200 juta. Tapi ketika wilayah di sekeliling rumah tersebut berkembang menjadi sentra ekonomi, maka harganya bisa melonjak jadi Rp 2 miliar tanpa ada pemugaran apapun", jelas Yoga.

Bahkan kalaupun di dalam pelaporan harta kekayaan ada kesalahan valuasi nilai harta tidak bergerak, sebetulnya tetap dimungkinkan mekanisme pembetulan laporan terkait penilaian (appraisal) dari harta tidak bergerak yang sudah ada sebelumnya di laporan. Beda tentunya bila ada harta tidak bergerak baru yang ditambahkan dengan nilai yang besar, atau penambahan uang tunai/simpanan. Namun jika penambahan nilai harta terjadi karena valuasi baru dari harta tidak bergerak yang lama, maka apa yang dialami oleh Bupati Kukar bukanlah gratifikasi melainkan masalah administrasi.

"Terkait dugaan Rita menerima gratifikasi dari Hery Susanto alias Abun, ini sesederhana perlunya pembuktian dan pemeriksaan silang bukti. Mengingat Abun sudah menyatakan bahwa transaksi keuangan antara dia dan Rita adalah terkait jual beli emas semata", tuturnya.

Menurut penilaian Yoga, kemungkinan besar kasus Bupati Kukar ini bukan termasuk kategori gratifikasi, tapi hanyalah masalah administrasi pelaporan nilai kekayaan belaka, sehingga akan sangat mendegradasi reputasi usaha pemberantasan korupsi di Indonesia bila tetap dipaksakan. Sebuah isu yang sifatnya hanya administrasi tapi seperti dipaksa menjadi gratifikasi, hanya karena sudah salah langkah di awal dengan penetapan tersangka tanpa bukti yang kuat.

"Lebih bahaya lagi bila memang ini terkait dengan isu politik mengingat survei terakhir menunjukkan bahwa elektabilitas Rita Widyasari berada di kisaran 30 persen. Sedangkan lawan terdekatnya hanya 15 persen. Bila tidak berhati-hati, bukan tidak mungkin rakyat akan menjadi curiga bahwa usaha pembersihan korupsi di Indonesia tidak benar-benar bersih", terangnya.

Yoga menceritakan, selama ini Rita Widyasari mendedikasikan hidupnya demi kemajuan daerah yang dipimpinnya. Ini dapat dibuktikan dengan pesatnya pembangunan di Kutai Kartanegara. Dalam kepemimpinannya telah lima kali memperoleh WTP dari BPK RI dan penghargaan dari Kemenpan dan Reformasi Birokasi karena keberhasilan reformasi birokasi di Kutai Kartanegara, serta berbagai penghargaan yang diperolehnya.

Penghasilan Rita sendiri dari usaha tambang dan perkebunan miliknya perbulan bisa mencapai Rp 1,5 miliar, tak heran dia sering merogoh koceknya sendiri untuk membantu masyarakat dan membuat berbagai kegiatan besar tanpa menggunakan APBD yang ada. APBD Kukar yang triliunan rupiah tentu akan lebih mudah dimanfaatkan apabila Rita ingin melakukan korupsi.

"Suami Rita sendiri pun tidak mau mencampuri urusan pekerjaan Rita sebagai kepala daerah sehingga cenderung membatasi diri dalam pergaulan demi menjaga agar dirinya tidak dimanfaatkan orang lain untuk mempengaruhi Sang Isteri", tutur Yoga.

Secara logika maka tidak mungkin Rita mau melakukan tindakan korupsi untuk memperkaya diri dan orang sekitarnya. Terlebih Rita Widyasari ingat betul dengan pesan almarhum bapaknya untuk menjadi lilin bagi orang lain.