Follow : Like : RSS : Mobile :

23 Mahasiswa Hukum Ibnu Chaldun Jalani Ujian Skripsi

Foto | Istimewa | Detakjakarta.com

detak- Sebanyak 23 mahasiswa fakultas hukum universitas Ibnu Chaldun menjalani ujian skripsi yang digelar sejak Senin (26/9/2016) hingga Kamis (29/9/2016) mendatang.

Dekan fak. hukum univ. Ibnu Chaldun Muhammad Syukur S.H. mengatakan, jumlah tersebut tidak banyak perubahan dari tahun sebelumnya yang tercatat 27 mahasiswa.

"Tahun lalu (2015) ada 27 orang. Hari ini 23 orang. Tidak ada perbedaan signifikan. Baguslah. Paling banyak perdata", kata Syukur kepada wartawan disela-sela sidang skripsi, Senin (26/9).

Menurut Syukur, pada dasarnya ujian skripsi merupakan hal yang umum dan biasa dalam proses belajar mengajar di sebuah Perguruan Tinggi. Namun yang terpenting dari proses tersebut adalah lahirnya generasi baru yang mampu mendharma baktikan keilmuannya dalam kehidupan bermasyarakat.

"Yang terpenting adalah kita menyiapkan generasi baru, yang akan menyandang gelar sarjana yang mampu mengimplementasikan nilai keilmuannya dalam kehidupan masyarakat. Sehingga penting sekali siapapun yang menjadi mahasiswa yang lulus dan menyandang gelar akademik harus mampu mempertanggung jawabkan keilmuannya itu", ujarnya.

Syukur menuturkan, fakultas hukum Ibnu Chaldun merupakan fakultas hukum tertua di Indonesia yang telah banyak menghasilkan tokoh hukum nasional. Namun ia mengakui, dalam perkembangannya memang tengah mengalami penurunan.

"Ini fakultas (hukum) yang paling lama di Indonesia, 67 tahun. Hampir seumur dengan usia RI. Di sini salah satunya prof. Baharuddin Lopa, dan banyak hakim agung lainnya. Dalam perkembangannya, dia memang mengalami penurunan. Dan kita sedang melakukan perbaikan-perbaikan kedalam. Saya ingin majukan lagi fakultas hukum. Karena itu kita gelar banyak kegiatan, mulai dari seminar hingga kita aktif melakukan pengawalan konstitusi, melalui somasi dan lainnya", paparnya.

"Penurunan" yang dimaksud Syukur sebenarnya juga dialami banyak Perguruan Tinggi swasta lainnya. Banyak hal penyebabnya. Dan salah satu yang dituding adalah karena adanya persaingan tidak sehat antar Perguruan Tinggi negeri dengan swasta.

"Kalau kita bicara soal regulasi di bidang pendidikan, di Indonesia, kompetisi pendidikan itu tidak fair. Kenapa ? Lembaga-lembaga Kampus negeri itu diinvest dana oleh APBN. Tapi masih menerapkan pembiayaan yang mahal. Sedangkan dia memiliki infrastruktur yang cukup. Bagaimana Kampus swasta yang tidak memiliki apa-apa, tidak diinvest oleh anggara mau bersaing ? Harusnya Negara yang menyiapkan kampus, disubsidi anggarannya, kemudian masyarakat bisa masuk dan menikmati. Dia (PT negeri) hanya menekankan pada sistim seleksinya saja. Jangan pada pertarungan biaya juga. UU No12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi menegaskan tentang otonomi Perguruan Tinggi. Kita dipaksa untuk memenuhi syarat ini itu, bersaing dengan negeri, sedangkan negeri diinvest anggarannya. Kita tidak diinvest. Bagaimana bisa bersaing ? Tidak fair", ungkap Syukur.

Syukur berharap pemerintah dapat bertindak lebih bijak dengan memberi ruang terhadap lahirnya kebijakan afirmatif yang dapat memberi kesempatan kepada lembaga pendidikan yang kurang pembiayaannya, untuk mendapatkan bantuan.

"Saya bilang harus ada regulasi yang memberi ruang terhadap lahirnya kebijakan afirmatif. Afirmatif diperlukan untuk memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga pendidikan yang tidak memiliki kemampuan pembiayaan, untuk mampu memperoleh kesempatan mendapatkan bantuan. Kemudian dia didorong peningkatan kapasitas dan kualitasnya. Kalau orang punya uang disuruh bikin kampus, dia pasti lebih maju. Sedangkan masyarakat yang membutuhkan pendidikan, dia pasti mencari kampus yang bagus. Semua kampus ingin jadi bagus. Tapi proses pembiayaannya bagaimana ?", tandasnya. (Bud/Pur)