Follow : Like : RSS : Mobile :

Moeldoko, "Petani Butuh Atensi Lebih dari Pemerintah"

Foto | Istimewa | Detakjakarta.com

detak--Sungguh ironis memang nasib kebanyakan petani Indonesia. Penghasil makanan bagi jutaan rakyat Indonesia ini terus hidup dengan penuh keterbatasan. Kebijakan pemerintah impor berbagai hasil bumi seolah menambah beban berat yang telah mereka pikul selama ini. Impor juga membuat harga hasil produksi di tingkat petani menjadi sangat rendah. Disisi lain, akibat rendahnya akses perbankan, tidak sedikit petani yang masih akrab dengan atau terjerat rentenir. Dampak jauhnya adalah, banyak kaum muda di desa yang enggan lagi menjadi petani, menjual saawah, dan memilih mencari kerja di perkotaan.

"Selama ini petani bertempur sendiri. Pemerintah memang sudah memberikan banyak bantuan, tapi masih perlu atensi-atensi yang lebih besar diberikan lagi kepada mereka, karena selama ini petani menghadapi situasi itu sendiri", kata Jenderal TNI (Purn) Moeldoko disela-sela Bincang-Bincang Agribisnis di Gedung Juang Cikini, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Jenderal yang kini banyak berkecimpung di bidang pertanian ini, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghidupkan kembali gairah pertanian di tanah air, terutama menghadapi kecenderungan harga yang terus merosot disaat panen. Diantaranya adalah bagaimana menggenjot upaya-upaya peningkatan hasil produksi.

"Bagaimana melawan harga. Ditingkat petani, satu-satunya jalan adalah dengan meningkatkan hasil-hasil produksi. Sehingga walaupun harganya murah, dengan produksi yang tinggi, masih bisa impas. Kedua, memberikan kemudahan agar petani tidak terjerat oleh rentenir. Maka kita berikan modal awal agar petani bisa melaksanakan pertaniannya. Dan saat dia panen dia tidak terjerat rentenir", paparnya.

Mantan Panglima TNI ini menegaskan, ditengah kemajuan ilmu dan teknologi, sudah bukan saatnya lagi petani Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. "Tidak ada yang tidak mungkin untuk meningkatkan harkat hidup para petani di Indonesia. Kami pernah membantu pertanian di daerah Gunung Kidul. Potensi lahannya ada. Kita ukur kedalaman tanahnya, tidak sampai 20 cm. Jadi permasalahan disitu, tanahnya tidak ada, dan sumber air jauh di bawah, sebab rata-rata lahan pertanian di atas bukit. Maka kita bikinkan pengairan yang bisa mengangkat air ke atas hingga 100 meter tanpa harus menggunakan pompa. Sekarang kedalaman tanah sudah lebih selutut", ungkapnya.

Untuk meningkatkan kualitas dan hasil produksi, Moeldoko berpesan agar petani di seluruh tanah air tidak ragu menggunakan pupuk organik (pertanian organik). Ia dengan tegas menampik asumsi kebanyakan masyarakat bahwa penggunaan pupuk organik tidak memberi hasil yang memuaskan.

"Siapa bilang organik tidak tinggi hasilnya. Kami sudah buktikan. Kami melakukan pertanian dengan organic. Ada value 3 M yang dapat diberikan pada pertanian, yakni mudah, murah dan melimpah. Mudah, karena petani kan gak mau ribet-ribet. Bagaimana pertanian bisa dilakukan dengan mudah. Murah, karena pupuk organik bisa diproduksi sendiri. Dan Melimpah, terbukti hasilnya melimpah", pungkas Moeldoko.

Untuk diketahui, hasil pertanian organic sangat diminati di Eropa dan Amerika. Beberapa waktu lalu Indonesia mengekspor beras organic dengan harga sekitar Rp 90 ribu per kilo. Potensi peluang ekspor hasil pertanian organic ini hendaknya mampu ditangkap oleh banyak petani di tanah air. (Bud/Pur)